Sebagai produsen dan eksportir crude palm oil (CPO) terbesar di dunia, Indonesia tidak dapat menutup mata terhadap peran penting petani kecil kelapa sawit (smallholders) karena mereka memiliki peran penting di rantai pasok industri kelapa sawit, selain juga berkontribusi untuk perekonomian negara.
Menurut data dari Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2022 dari Badan Pusat Statistik (BPS), dari sekitar 16,83 juta hektar total areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia, sekitar 6,21 juta hektar, atau 40,51% adalah perkebunan rakyat. Sebesar 8,58 juta hektar (55,92%) dikuasai oleh perkebunan swasta dan sisanya 0,55 juta hektar (3,57%) merupakan perkebunan besar negara.
Perkebunan sawit rakyat merupakan usaha perkebunan untuk budi daya tanaman sawit yang dilakukan rakyat, yang mana sebagian besar hasilnya dijual dalam skala terbatas. Banyak dari perkebunan jenis ini tidak berbadan hukum dan lahannya merupakan warisan keluarga.
Selanjutnya, pengelola perkebunan sawit rakyat terbagi menjadi dua, yakni petani plasma, yang memiliki keterikatan dengan pabrik melalui kontrak atau perjanjian kredit dan petani swadaya/ mandiri, yang tidak memiliki keterikatan dengan pabrik atau perusahaan tertentu dalam penjualan tandan buah segar (TBS) sawit milik mereka.
Berdasarkan Buku Statistik Perkebunan 2021-2022, terdapat sebanyak 2,5 juta kepala keluarga petani kelapa sawit di Indonesia (petani plasma dan swadaya). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pernah mengatakan meski memiliki kontribusi cukup signifikan dari segi lahan, namun hasil dari kebun rakyat masih lebih kecil dibanding hasil sawit yang diproduksi perusahaan swasta maupun BUMN.
“Perlu diberikan dukungan terutama dalam menghadapi isu perubahan iklim […] Smallholders memiliki beberapa tantangan terutama terkait produktivitas dan kapasitas,” kata Airlangga, yang juga merupakan merupakan Ketua Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), dalam acara Pekan Riset Nasional 2021, Rabu, 17 November 2021.
Isu perubahan iklim dan produktivitas memang kerap menghantui nasib para petani kecil pengelola perkebunan rakyat yang menjalankan bisnisnya secara mandiri, alias tanpa ikatan dengan korporasi. Selama beberapa generasi kelapa sawit telah menjadi mata pencarian untuk keluarga para petani ini.
Namun, keterbatasan mereka dari sisi permodalan, minimnya pengalaman mengelola kebun sawit, hingga kurangnya kemampuan untuk mengurus legalitas kepemilikan lahan, menghalangi mereka mendapatkan kesejahteraan lebih baik. Dari sisi produktifitas, karena berbagai hal tersebut, hasil sawit yang diproduksi dari kebun petani swadaya lebih sedikit dibanding kebun sawit milik petani plasma.
Isu lingkungan seperti tudingan berkontribusi terhadap deforestasi di Indonesia, konflik kepemilikan lahan, hingga rendahnya harga jual tandan buah segar (TBS) merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh para petani kelapa sawit.
Hal ini dikarenakan, meskipun, minyak sawit merupakan komoditas penting untuk proses pembuatan berbagai produk –termasuk produk makanan, deterjen, kosmetik, bahan bakar nabati, dan lainnya – namun konsumen di berbagai belahan di dunia mulai menginginkan praktik budi daya berkelanjutan dapat diterapkan agar lingkungan tidak terdampak buruk dari bisnis kelapa sawit.